Wakil Presiden RI Jusuf Kalla memberikan konferensi pers, usai penandatanganan kerjasama antara BPPT, Kementerian ESDM, dan PT Pertamina (Persero), Jakarta, Senin (10/8/2015). Pemerintah menargetken porsi energi baru terbarukan pada 2025 mencapai 17 persen dari total bauran energi.

KOMPAS.com — Peneliti serta Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyambut baik usulan Wakil Presiden Jusuf Kalla mereformasi lembaganya, mengubah menjadi BLU (badan layanan umum).

Usulan Kalla diungkapkan dalam acara penandatanganan nota kesepahaman antara BPPT, Pertamina, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Kantor BPPT Jakarta, Senin (10/8/2015).

"Saya putuskan dengan Presiden agar BPPT jadi BLU saja. Jadi, hasilnya jelas," kata Kalla setelah menyampaikan sejumlah kritikan kepada BPPT, antara lain terlalu banyak mengkaji dan selalu menunjukkan inovasi yang sama.

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2005, BLU adalah instansi pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa.

Berbeda dengan badan lain, BLU bekerja dengan semangat pelayanan tanpa mengutamakan keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Contoh BLU adalah rumah sakit pemerintah.

Satuan kerja BLU dapat memiliki fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan yang berbeda dengan instansi biasanya (non-BLU) berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, serta penerapan praktik bisnis yang sehat (Pasal 2 PP Nomor 23 Tahun 2005).

Menanggapi pernyataan Kalla, Kepala BPPT Unggul Priyanto mengatakan bahwa perubahan BPPT menjadi BLU itu justru akan membuat lembaganya lebih produktif dan mampu menghargai ilmuwannya.

"Kita bisa bayar perekayasa kita dengan jumlah atau standar internasional. Kalau sekarang dengan standar pegawai negeri sipil," katanya. 

Jumlah tunjangan untuk perekayasa sekarang hanya Rp 500.000-Rp 700.000. Ditotal dengan gaji, penghasilan perekaysa masih lebih rendah daripada penghasilan konsultan yang bisa mencapai Rp 30- Rp 60 juta. 

Unggul menyampaikan, itu semua akibat pengelolaan keuangan yang sangat terpusat lewat sistem penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Dengan sistem itu, BPPT tidak bisa mengelola uang secara mandiri. "Kita setor dulu ke pusat baru kalau perlu kita minta lagi," kata Unggul.

Sistem itu menghambat kinerja. Sejumlah rencana eksekusi proyek kadang tertunda atau bahkan batal hanya karena menunggu uang turun. "Bisa tiga sampai empat bulan baru turun, padahal kita butuh segera," ujarnya.

Dengan berubah menjadi BLU, BPPT berhak mengelola uang yang diperoleh dengan tetap menyetor sejumlah uang dan pajak ke negara. "Yang penting negara tidak rugi," kata Unggul.

Unggul menyebut, Pusat Layanan Teknologi yang menjadi salah satu departemen di BPPT saat ini sebenarnya sudah menerapkan sistem BLU. "Hasilnya bagus, perekayasa lebih semangat," katanya.

Belum jelas kapan BPPT benar-benar akan berubah menjadi BLU. Namun, Unggul meyakini perubahan itu akan terjadi segera sebab pernyataan telah keluar dari Wakil Presiden.

Sementara itu, perekayasa pada Pusat Konversi dan Konservasi Energi Agus Salim Dasuki mengungkapkan bahwa perombakan juga harus terjadi pada manajemen sumber daya manusia dan sistem kerja.

Penghargaan kepada para perekayasa sebaiknya bukan didasarkan atas kehadiran, tetapi pada inovasi. Selama ini, penilaian masih bergantung pada kehadiran. "Saya pernah tidak dapat tunjangan profesi karena kurang presensinya," katanya.

Perekayasa juga memiliki keharusan menghadiri beragam rapat untuk mendapatkan tunjangan. "Saya kerja sampai malam merencanakan sesuatu malah tidak dihitung," ungkap Agus.

Agus mengatakan, pemerintah dan BPPT sendiri mesti mampu mengelola sumber daya manusia yang melimpah. Saat ini, ada BPPT punya 200 doktor, 700 master, dan 1.200 sarjana.

 

Editor : Yunanto Wiji Utomo

Sumber : Kompas

 


Add comment


Security code
Refresh