Lingkungan hidup menurut Undang-undang 32 Tahun 2012 , adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Jangkauan lingkungan hidup tidak hanya ada di darat, namun alam semesta secara menyeluruh baik yang ada di bumi baik permukaan maupun perut bumi hingga angkasa.

Dokumen The Future We Want sebagai hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan, yang telah berlangsung di Rio de Janeiro Brasil, Indonesia ikut serta menyepakati. Selanjutnya dokumen tersebut menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen tersebut berisi kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh bangsa-bangsa di dunia, yaitu komitmen untuk tetap menjaga prinsip-prinsip perlindungan lingkungan saat meraih kesejahteraan ekonomi atau ‘ekonomi hijau’ (green economy).[1]

Dalam rangka memenuhi hidup dan kehidupan manusia berdaya upaya memanfaatkan segala potensi untuk memenuhi kebutuhan yang terkadang melupakan dampak-dampaknya. Dalam tatanan berbangsa dan bernegara semua kebijakan, program dan kegiatan ditujukan untuk menusia untuk memenuhi kebutuhan hingga manusia berada pada tataran sejahtera. Sumber daya alam dieksploitasi untuk memenuhi hajat hidup, aspek sosial kurang mendapat perhatian, kemiskinan merebak, dan dampak terakhir adalah rusaknya ekologi. Kota-kota di Indonesia yang pada awalnya menjanjikan kemakmuran ekonomi, kini telah bergeser menjadi kawasan tidak layak hidup. Lebih jauh, kondisi Lingkungan (dunia) saat ini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, bahkan salah satu tokoh lingkungan dunia menyampaikan bahwa kita saat ini sedang bersama-sama melakukan bunuh diri ekologis (ecological suicide)[2]. Saat ini bumi kita dalam kondisi sakit, perlu pengobatan, agar sembuh dan layak untuk hidup dan kehidupan manusia.

Budiharjo, Eko (2015) dalam Kota dan Lingkungan menyampaikan bahwa dalam pengelolaan lingkungan di beberapa daerah secara turun-temurun telah dilakukan, walau tidak berdasarkan keilmuan, namun telah menjadi budaya dan tradisi, baik di jawa, bali dan tempat-tempat lain yang bila dikaji lebih dalam sebenarnya memperimbangan keseimbangan ekologi. Berbeda kondisinya pada tata lingkungan modern (lihat pembangunan perumahan) pertimbangannya hanya aspek ekonomi komersial, sangat sedikit yang mempertimbangkan aspek sosio-ekonomi, kebutuhan-kebutuhan sosial penghuni tidak dipersiapkan  seperti ruang terbuka hijau yang kerap kali dijumpai kurang sesuai kebutuhan, demikian ruang publik aktivitas warga, ruang ibadah bahkan pemakaman, sehingga kerap kali warga sebuah perumahan akan kesulitan memakamkan warga yang meninggal. Bila tejadi demikian, pemerintah menanggung resiko-resiko tersebut. Lebih parah lagi tata lingkungan di Kota-Kota metropolitan dan besar, bahkan saat ini merambah kota-kota sedang. Lingkungan perkotaan yang sangat panas bila musim kemarau, sumpek dan banjir bila hujan menunjukkan bahwa lingkungan di kota-kota tersebut tidaklah seimbang, tidak humanis. Apalagi perkembangan kota yang melesat dan menjadi daya tarik pendatang, di pusat-pusat perekonomian, slum (perkampungan formal kumuh) kian marak demikian juga dengan squater (perkampungan liar).

Pembangunan kota berkelanjutan (sustainability) Budiharjo, Eko (2015) menyarankan agar kita memahami, meresapi dan menghayati prinsip sapta E, yaitu :

  1. Aspek environment atau ecology bahwa panorama, keindahan, fasilitas, kenyamanan adalah hak publik, bukan hanya hak prerogatif orang kaya
  2. Aspek employment atau economy bahwa sektor formal maupun informal harus mendapat perhatian yang seimbang.
  3. Aspek partisipasi, bahwa keterlibatan masyarakat maupun stakeholder merupakan prasarat dalam pembangunan berkelanjutan
  4. Aspek equity bahwa semua warga mempunyai kesamaan hak, kesetaraan dan keadilan, sehingga mereka tanpa kecuali mempunyai hak untuk menjangkau sumber daya perkotaan.
  5. Aspek energy conservation bahwa konservasi energi mutlak mendapat perhatian, di bidang transportasi lebih disarankan untuk meningkatkan transportasi massal untuk mengurangi kemacetan dibanding pembangunan tol, jalan lingkar, jalan arteri dll yang kecenderungannya mewadahi kepentingan kendaraan pribadi. Pengendalian kendaraan menjadi kebutuhan untuk mengurangi kemacetan
  6. Aspek etika membangun atau development ethic bahwa pembangunan harus mereduksi ketimpangan sosial dan ekonomi.Pembangunan manusia, pembangunan sosial ekonomi, dan pembangunan lingkungan adalah tiga parameter yang dipilih Indonesia untuk mewujudkan SDGs (Sustainable Development Goal’s)
  7. Aspek Estetika atau keindahan bahwa estetika penting dalam membangun, namun seimbangan pada poit 2) dan 4) tetap harus menjadi pertimbangan mendasar.

Kota Magelang yang kian maju diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya, namun tetap aman, nyaman sebagai tempat tinggal, sehingga seluruh aspek lingkungan berkelanjutan menjadi hal yang mutlak menjadi pertimbangan.


[1] https://akuwongmbatu.wordpress.com/2016/02/24/membangun-sebuah-kota/

[2] Simmonds J.O. dalam Budiharjo Eko, 2015, Kota dan Lingkungan, pendekatan baru masyarakat berwawasan ekologi, LP3ES, Jakarta

Add comment


Security code
Refresh